Hijrah Hati Seorang Pendidik
Oleh: Adang Nurdin M.S., M.Pd
Direktur SDMU Idrisiyyah Foundation daMuhadhir Mahad Aly Idrisiyyah
Berbicara mengenai menjadi pendidik, bukanlah semata-mata hanya karena keadaan, melainkan harus karena keterpanggilan jiwa untuk memberi. Sehingga dari keterpanggilan jiwa tersebut akan menjadi sebuah proses ibadah kepada Allah SWT. Oleh sebab itu, niat adalah hal yang sangat penting sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits,
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ
“Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung dari niatnya\”
Niat yang baik akan menghasilkan proses dan akhir yang baik. Niat seseorang akan berpengaruh terhadap proses dan hasil. Hal ini selaras dengan konsep hijrah yang dijelaskan dalam Al-Qur’an yang berbunyi, “Barang siapa berhijrah di jalan Allah SWT, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa keluar dari rumah dengan maksud berhijrah kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah SWT. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang\”. (QS. An-Nisaa\’: 100).
Kalimat hijrah selalu ditekankan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, maka dalam setiap pekerjaan itu tergantung dari niatnya, termasuk dalam hijrah. Barang siapa yang hijrahnya karena Allah SWT dan Rasul-Nya, maka ia sedang hijrah kepada Allah dan rasul sebagaimana dijelaskan dalam hadits dari Umar RA, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan. Barang siapa niat hijrahnya karena Allah SWT dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan.\” (HR. Bukhari) [No. 54 Fathul Bari].
Itulah mengapa niat menjadi sangat penting dalam melakukan aktivitas apapun. Hijrah karena dunia, maka yang ia dapat hanya dunia. Jika mengajar niatnya karena materi duniawi, msks itu yang didapat, tapi jika mengejar niatnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka aktivitasnya itu akan bernilai ibadah.
Hijrah itu harus disertai dengan jihad atau kesungguhan karena prosesnya tidak mudah. Sebab menghijrahkan diri dan meluruskan niat semata-mata untuk mendidik karena Allah SWT dan Rasul-Nya, banyak tantangannya sehingga memerlukan kesungguhan.
Kesungguhannya dapat berupa dua hal yakni dengan harta dan diri. Gaji seorang pendidik yang diterima, apabila dibandingkan dengan tanggung jawab yang sangat besar tidak akan pernah terbayarkan. Akan tetapi hal itu menjadi jihadnya para pendidik dalam harta dan materi. Terkadang untuk kebutuhan sehari-hari saja dari gajinya belum tentu cukup. Namun dengan berjuang, ridho dan bersyukur menerima gaji dari lembaga, maka akan tumbuh banyaknya keberkahan dalam hidup. Tenaga dan pikiran beserta ilmu yang disampaikan merupakan jihad anfus (diri) seorang pendidik.
Pendidik berjihad dan berkorban dengan harta dan diri akan bernilai ibadah apabila niatnya lurus kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Tetapi jika hatinya tidak hijrah kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, maka akan menjadi rugi adanya. Ibarat melakukan sesuatu tapi tidak mendapatkan sesuatu. Mungkin saat menjadi pendidik materi yang diterima tidak sebanding dengan jasa yang telah diberikan. Akan tetapi Allah SWT akan limpahkan kebahagiaan dengan tiket yang Allah SWT persiapkan bagi para pendidik dengan ilmu yang bermanfaat yang diajarkan kepada para peserta didik.
Kebahagiaan seoarang pendidik adalah mendapatkan satu tiket yakni investasi pahala yang akan diterima di alam barzah karena ilmu yang bermanfaat yang ikhlas diberikan dan diajarkan kepada peserta didik. Maka jagalah tiket ini agar berlaku hingga saat hari kebangkitan menuju pintu surga dengan niat dan orientasi mengajar hanya karena Allah SWT dan Rasul-Nya.
Tempat niat ialah di dalam hati, maka niat akan berubah-ubah pastinya dipengaruhi oleh hati. Jika ingin senantiasa lurus kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, harus menjaga dan merawat hati. Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi SAW melalui hatinya yang disebut fuad. Fungi Al-Qur’an di antaranya adalah syifaaul limaa fiish-shuduur (obat bagi hati). Semua tindakan manusia bergantung hatinya. Jika isi hatinya baik, maka baik pula seluruh tindakannya. Begitu pula sebaliknya. Sebab sesungguhnya esensi dan permanen yang ada di dalam diri adalah hati. Hatilah yang akan dibawa pulang menghadap kepada Allah SWT. Al-Qur’an menyebutkan, Yauma laa tanfa\’u maalun wa laa banuun illaa man athallaahu bi qalbin saliim. Artinya, (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah SWT dengan hati yang bersih, (Q.S. Asy-Syua\’ara ayat 88 – 89).
Salah satu fungsi hati adalah tempat terbitnya cahaya Allah SWT. Manusia pernah bersaksi kepada Allah SWT dan dalam surat Al-A\’raf disebutkan, “Alastu birobbikum? Qoolu balaa syahidna”. “Bukankah aku Tuhan kalian? Benar, kami bersaksi” [Q.S. Al A\’raf: 172]. Tetapi ketika lahir ke dunia, banyak manusia yang dipengaruhi hawa nafsunya. Terjadilah kerusakan dalam kehidupannya. Ada 4 perkara untuk merawat hati agar selalu menghadap Allah SWT. Menurut Syekh Ibnu Athaillah as Sakandari berkata,
\”Bagaimana hati akan dapat disinari sedangkan gambar-gambar alam maya pada ini tercap dalam kaca hatinya. Atau bagaimanakah seseorang bisa berjalan kepada Allah SWT, sedangkan ia terikat dengan syahwat-syahwatnya. Atau bagaimana seseorang berkeinginan kuat untuk masuk ke Hadhirat Allah SWT, sedangkan ia masih belum suci dari junub kelalaiannya. Atau bagaimana seseorang mengharapkan agar dapat memahami rahasia-rahasia yang halus sedangkan ia belum taubat dari dosa-dosanya\”.
Pertama, bersihkan hati dari gambaran dunia dan makhluk. Jika kita mencintai suatu benda, maka akan terlukis dalam hati. Oleh karenanya benda tersebut di-manage dalam hati, bukan dikuasai. Cahaya hati adalah kendaraan hati dan asrar-Nya. Tanpa cahaya tidak ada kendaraannya, atau bergerak kepada Allah SWT. Jangan terpesona dengan dunia lupa dengan yang memberi dunianya, minta kepada Allah SWT agar dalam aspek rezeki dicukupkan.
Kedua, bebaskan hati dari cengkeraman hawa nafsu, maka hatinya akan bergerak kepada Allah SWT. Orang yang berbahagia adalah yang menjadikan hatinya sebagai raja dan hawa nafsunya sebagai tawanannya. Orang yang celaka adalah orang yang sebaliknya. Karakteristik nafsu tidak mau diatur, dan cenderung kepada kenikmatan yang sesaat. Ada orang yang suka mencari perhatian orang lain, padahal banyak orang membenci kelakuannya. Tapi orang yang berangkat hatinya kepada Allah SWT akan sibuk mencari perhatian Allah SWT.
Ketiga, bersihkan hati dari kelalaian kepada Allah SWT. Sejak bangun tidur hingga tidur lagi hatinya lupa. Bahkan ketika shalat hatinya tidak hadir. Padahal di setiap waktu Allah SWT mengawasi. Tidak ada satu tempat pun yang lewat dari tatapan Allah SWT. Bangkitkan kesadaran bahwa Allah SWT selalu mengawasi diri. Allah SWT mengetahui khianatnya mata, hati dan tersembunyinya hati. Seandainya hati manusia terbuka, maka ia mati menahan malu. Walaupun sebesar biji sawi, kebaikan maupun keburukan akan tercatat oleh ruh. Ada ruh yang menerima nikmat. Sejak diciptakan ruh tidak akan mati. Ruh pindah dari alam dunia ke alam kubur. Ruh berpindah-pindah. Ruh itu bersifat permanen, diberi nikmat atau azab oleh Allah SWT.
Keempat, bertaubat dari segala dosa-dosa. Ruh mendapat getahnya atas perbuatan anggota tubuh. Ada orang yang sudah mempersiapkan kematiannya. Artinya ia telah mengetahui sebagian rahasia-rahasia Allah SWT. la akan merasakan bahagia menjelang kematiannya. Karena ia banyak bertaubat.
Standar kesuksesan antar lembaga pendidikan tentunya memiliki prioritas kesuksesan yang berbeda. Namun kesholehan peserta didik harus menjadi indikator utama kesuksesan. Kemudian indikator selanjutnya yaitu cerdas dalam pengertian mampu menganalisa masalah dan menemukan solusinya. Lalu indikator selanjutnya yaitu kemandirian dalam menjalankan tugas. Tiga indikator ini diharapkan bukan hanya tertanam pada peserta didik saja, namun ternaman juga kepada seluruh warga sekolah termasuk pendidik.
Pendidik yang memiliki nilai kesholehan, kecerdasan dan kemandirian akan melahirkan pendidik yang kreativ dan inovatif, pendidik yang menyenangkan dan ditunggu kehadirannya, maka proses mendidik para peserta didik harus dengan hati. Kualitas pendidikan akan meningkat ketika meningkat pula kualitas niat pendidik, sehingga proses dan akhirnya akan lebih baik.
“Everybody is a genius, but if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing it is stupid\”. Artinya, Semua itu jenius, tapi jika kamu menilai ikan dari cara dan kemampuan ia memanjat pohon, maka ikan itu akan berpikir dia bodoh sepanjang hidupnya. [Einstein]
Jika Pendidik menganggap bahwa muridnya gagal karena semua murid nilainya kecil, ingat bahwa penulis yang bernama Meena Srinivasan pernah berkata bahwa, \”it\’s not always what you teach, but how you teach it\”. Artinya, Ini bukan selalu soal apa yang kamu ajarkan, tapi soal bagaimana kamu mengajarkannya.
\”If a child can\’t learn what we teach, maybe we should teach the way they learn\” [Ignacio Estrada]. Seorang Anak yang berbakat sastra, akan sangat sulit untuk mengalahkan anak yang berbakat dalam bidang IPA, jika dinilai dari kemampuannya dalam bidang IPA. Begitupun sebaliknya, selayaknya hidup di zaman milenial, maka ajarkanlah anakmu sesuai zamannya. Bukan membanding-bandingkan antara zamanmu dengan zaman mereka. Sudah sepatutnya sekolah menjadi taman tempat belajar yang menyenangkan, bukan lagi menjadi tempat yang menakutkan. Pendidik bukan generasi penerus, melainkan generasi pengubah, maka rubahlah pola pendidikan kepada yang lebih baik dengan niat lillah, fillah, billah.